Standar Wajib Kemasan Pangan: Tantangan Keamanan Pangan di Indonesia

 

Di Indonesia, menikmati makanan di luar rumah—baik itu sebungkus nasi uduk di pagi hari, semangkuk bakso panas untuk makan siang, atau aneka gorengan di sore hari—adalah bagian tak terpisahkan dari denyut nadi kehidupan. Kita sering kali begitu fokus pada rasa, kebersihan olahan, dan harga, sehingga sering melupakan satu elemen krusial yang bersentuhan langsung dengan makanan kita: kemasan.

Kita percaya pada makanan yang kita beli, namun sudahkah kita percaya pada wadah yang digunakannya? Di sinilah letak salah satu tantangan keamanan pangan paling senyap namun paling persisten di Indonesia. Meskipun regulasi dan standar wajib (seperti SNI dan BPOM) untuk Bahan Kontak Pangan (BKP) telah ada, implementasinya di lapangan menghadapi tiga tantangan besar.

 

1. Tantangan Ekonomi: Dominasi UMKM dan Prioritas Biaya

 

Pilar kuliner Indonesia ditopang oleh jutaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), mulai dari warung tenda, pedagang kaki lima, hingga katering rumahan. Bagi sebagian besar pelaku usaha di segmen ini, pertimbangan utama dalam memilih kemasan adalah harga.

Kemasan non-food grade—seperti plastik daur ulang berwarna cerah, kertas koran bekas, atau styrofoam (busa polistirena) berkualitas rendah yang tidak bersertifikat—sering kali jauh lebih murah daripada kemasan yang telah teruji dan bersertifikat food grade. Dalam perhitungan bisnis harian, selisih beberapa ratus rupiah per kemasan sangat memengaruhi harga pokok penjualan (HPP).

Standar wajib keamanan pangan sering kali berbenturan langsung dengan realitas ekonomi di tingkat grassroot ini. Bagi penjual, yang terpenting adalah kemasan tersebut “cukup kuat” menampung makanan dan “tidak bocor”, tanpa memikirkan risiko jangka panjangnya.

 

2. Tantangan Perilaku: Risiko Jangka Panjang dari Paparan Panas

 

Tantangan kedua bersifat perilaku, baik dari sisi penjual maupun konsumen. Standar kemasan pangan dibuat berdasarkan skenario penggunaan. Sebuah kemasan mungkin aman untuk membungkus makanan dingin, namun menjadi berbahaya saat bersentuhan dengan makanan panas, berminyak, atau asam.

Di sinilah letak masalahnya. Kebiasaan di Indonesia meliputi:

  • Menuangkan kuah bakso atau soto yang masih mendidih langsung ke dalam mangkuk styrofoam.

  • Membungkus nasi panas, mi goreng, atau gorengan yang masih berminyak ke dalam kantong plastik kresek.

  • Menggunakan wadah plastik yang tidak dirancang untuk microwave (non-microwavable) untuk memanaskan ulang makanan.

Panas, minyak, dan asam adalah katalisator utama yang mempercepat proses migrasi kimia. Ini adalah perpindahan zat-zat berbahaya dari kemasan ke dalam makanan—zat seperti styrene, ftalat, bisphenol-A (BPA), atau logam berat dari pewarna plastik daur ulang. Bahayanya tidak instan seperti keracunan bakteri, melainkan bersifat akumulatif dan dapat memicu risiko kesehatan jangka panjang seperti gangguan hormon dan potensi karsinogenik.

 

3. Tantangan Edukasi dan Pengawasan yang Terfragmentasi

 

Meskipun BPOM telah menetapkan regulasi ketat, tantangan terletak pada rantai pasok dan pengawasan. Di satu sisi, produsen kemasan besar mungkin sudah patuh, namun di sisi lain, produsen skala kecil yang “nakal” masih banyak beredar di pasar.

Bagi konsumen, nyaris tidak mungkin membedakan secara kasat mata mana food tray yang aman dan mana yang tidak, kecuali jika ada logo food grade (gambar gelas dan garpu) yang jelas, yang sayangnya sering kali tidak ada. Kesenjangan edukasi ini membuat konsumen tidak memiliki kekuatan untuk menuntut kemasan yang lebih aman.

Pengawasan juga menjadi sangat kompleks. Mengawasi jutaan titik penjualan kuliner di seluruh nusantara adalah tugas yang mustahil bagi regulator. Akibatnya, standar wajib yang sudah ada menjadi sulit ditegakkan secara merata, terutama di luar jaringan ritel modern.

 

Jalan ke Depan: Tanggung Jawab Bersama

 

Mengatasi tantangan ini tidak bisa dibebankan hanya pada pemerintah (BPOM dan Dinkes). Standar wajib adalah fondasi, tetapi untuk membangun rumah yang aman, diperlukan kerja sama semua pihak.

  • Bagi Produsen Kemasan: Diperlukan transparansi dan edukasi di label produk, serta inovasi untuk menciptakan kemasan food grade yang aman namun tetap terjangkau bagi UMKM.

  • Bagi Pelaku Usaha (UMKM): Menggunakan kemasan food grade harus dilihat sebagai investasi pada kepercayaan pelanggan dan kualitas produk, bukan sekadar biaya.

  • Bagi Konsumen: Inilah saatnya untuk lebih kritis. Mulailah bertanya, pilihlah tempat yang menggunakan kemasan yang lebih baik, atau (jika memungkinkan) biasakan membawa wadah makanan sendiri (Bring Your Own).

Pada akhirnya, selembar kemasan makanan adalah representasi dari komitmen kita terhadap kesehatan. Memastikan bahwa setiap makanan yang kita santap aman hingga suapan terakhir adalah tanggung jawab yang dimulai jauh sebelum makanan itu dimasak, yaitu sejak pemilihan bahan kontaknya.